Kamis, 04 Desember 2008

KMB-TUBERKULOSIS PARU

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TUBERCULOSIS PARU


 
ERNI NOVRIANI, S.Kep
0811465770



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2008
 
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet) dari orang ke orang dan mengkolonisasi di bronkiolus atau alveolus (Corwin, E. J, 2000).
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang merupakan kuman batang tahan asam. Kuman ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 -0,6 /mm dan panjangnya 1-4/mm (Pryce, S. A, 1995).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa TB merupakan penyakit infeksi pada paru dengan penyebab mycobacterium tuberculosis dengan basil berbentuk batang tahan asam dan penularannya melalui droplet (percikan ludah). 

B. Anatomi Fisiologi
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus. Seluruh saluran udara ke bawah sampai ke bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ketempat pertukara gas paru paru.
 Paru-paru merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut dan letaknya didalam rongga dada/thoraks. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apeks dan basis. Paru-paru kanan terbagia atas tiga lobus dan paru-paru kiri manjadi dua lobus. 
Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elstis yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronkial venula, duktus alveolar, sakus alveolar dan alveoli. Diperkirakan setiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli sehingga mempunyai pemukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan /pertukaran gas. 
Proses fisiologi pernafasan terbagi atas dua stadium, yaitu:
1. Ventilasi
Yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru-paru karena adanya selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot
2. Transportasi
Merupakan tahap dimana terjadi proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis. Kekuatan mendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas.
Secara garis besar, paru-paru memiliki fungsi yaitu sebagai tempat permukaan gas-gas yang mengalirkan oksigen dari udara atmosfer ke darah vena dan mengelurkan gas CO2 dari alveoli ke udara atmosfer, menyaring bahan beracun dari sirkulasi serta sebagai reservoir darah dan fungsi utamanya adalah sebagai pertukaran gas-gas. 


C. Klasifikasi TBC
1. Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas P2TB Paru dibagi sebagai berikut.
a. TB paru BTA Positif dengan kriteria:
1. Dengan atau tanpa gejala klinik
2. BTA positif : mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif 1 kali.
3. Gambaran radiologi sesui dengan TB paru
b. TB paru BTA negatif dengan kriteria : 
1. Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai denga TB paru aktif.
2. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
c. Bekas TB paru dengan kriteria :
1. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif.
2. Gejala klinik tidak ada atau tanda dan gejala sisa akibat kelainan paru.
3. Radiologik menunjukan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah.
4. Ada vriwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).

2. Sistem Klsifikasi TBC berdasarkan patogenesis penyakit menurut kelas dan tipenya (dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit: Core curriculum on tuberculosis: what the clinical Should know, ed 4, Atlanta, 2000,CDC.)
Sistem klasifikasi TB
Kelas Tipe Keterangan
0 Tidak ada pajanan TB, tidak terinfeksi Tidak ada riwayat terpajan dan reaksi terhadap tes tuberkulin negatif
1 Terpajan TB tetapi tidak ada bukti klinis Ada riwayat terpajan tetapi tes tuberkulin negatif
2 Ada infeksi TB tetapi tidak muncul penyakit Reaksi tes tuberkulin positif, bila dilakukan pemeriksaan bakteri hasilnya negatif dan tidak terdapat bukti klinis, bakteriologik ataupun radiografik TB aktif
3 TB aktif secara klinis Terdapat biakan Mycobacterium tuberkulosis serta terdapat bukti klinis bakteriologik ataupun radiografik TB aktif
4 TB, tidak aktif secara klinis Tes tuberkulin positif , terdapat riwayat episode TB dan ditemukan radiologi yang abnormal
5 Tersangka TB Tes tuberkulin positif , terdapat riwayat episode TB dan ditemukan radiologi yang abnormal atau tidak ada bukti klinis dari pemeriksaan radiologik sekarang dan diagnosis ditunda


3. Klasifikasi TBC berdasarkan proses perkembangan basil tuberkel dibedakan dalam dua tahap, yaitu:
a. Tuberkulosis primer
  Tuberkulosis primer merupakan serangan infeksi pertamakali dan dapat terjadi pada anak dimana basil tuberkel di dalam organ paru akan berimplantasi paling sering pada permukaan alveoli dari parenkim paru pada bagian bawah lobus atas atau bagian atas lobus bawah. Ditempat implantasi tersebut, reaksi yang ditimbulkan oleh basil tuberkel tersebut adalah suatu proses peradangan dan menyebar ke alveoli. Tuberkulosis primer dapat sembuh total, sembuh dengan meninggalkan bekas berupa garis-garis fibrotik atau justru mengalami komplikasi dan menyebar ke organ tubuh lainnya.

b. Tuberkulosis post primer.
  Setelah sembuh pada tahap tuberkulosis primer, bukan berarti jaringan paru bebas dari basil tuberkel, tetapi basil tuberkel akan terus bertahan dalam sifat dormant dan berdinding yang disebut fase istirahat bagi tuberculosa. Pada saat individu mengalami penurunan daya tahan tubuh dan terpajan stres fisik maupun mental maka basil tuberkel dormant pada tuberkulosis primer akan aktif kembali dan bermultifikasi yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi endogen.
 
D. Etiologi
Penyebab utama terjadinya tuberkulosis paru adalah mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis, organisme berbentuk basil yang tersusun atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam serta gangguan kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis bersifat dormant dan tidak tahan terhadap ultraviolet sehingga akan mati oleh cahaya matahari dan penularannya terjadi pada malam hari..
Sifat lain kuman ini adalah aerob dimana kuman lebih suka tinggal pada jaringan yang mengandung banyak oksigen terutama bagian apikal paru-paru dimana pada bagian ini tekanan parsialnyanya lebih tinggi daripada bagian lainnya.

E. Patofisiologi
Tempat masuknya kuman M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan (gastro intestinal) yang apabila tertelan dapat menimbulkan infeksi usus dan melalui luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang bersarang dari orang yang terinfeksi. 
Basil tuberkel akan mencapai alveolus dan bersarang serta menimbulkan reaksi peradangan. Leucosit polymorfonuklear akan mencoba memfagosit bakteri namun tidak mampu membunuh bakteri tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit akan digantikan oleh makrofag yang mengandung banyak lemak.Tetapi karena sifat basil tuberkel yang parasit intaraseluler, basil tuberkel tersebut justru berkembang biak di dalam sitoplasma makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi sementara basil tuberkel membentuk sarang tuberkulosis atau sarang primer yang menyebakan pneumonia akut. Pneumonia ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa meninggalkan bekas atau peradangan justru dapat meyebar dan prosesnya berjalan terus sehingga bakteri dapat berkembangbiak di dalam sel. Selanjutnya peradangan sarang primer akan meluas ke saluran getah bening menuju hilus (lymphangitis local) dan diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening regional (lymphadenitis regional) yang disebut komplek primer. Pada perkembangan selanjutnya komplek primer akan menjadi:
a. Sembuh sama sekali tanpa cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan bekas berupa garis-garis fibrotik. 
c. Berkomplikasi dan menyebar secara:
- Perkontinuitatum, menyebar ke daerah sekitar
- Bronchogen, pada paru yang terserang atau pada paru di sebelahnya
- Lymfogen, ke organ lain
- Hematogen, ke organ tubuh lain yang dapat menyebabkan TB millier. Fenomena ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskular dan tersebar ke organ tubuh lain (Amin, Z dan Bahar, A, 2006).
 
Sarang primer dapat meluas merusak jaringan disekitarnya sehingga mengalami nekrosis. Bagian tengahnya akan menjadi lembek membentuk jaringan keju. Selanjutnya muncul ruang kavitas (kaverne) yang berdinding tipis yang akan menginfiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar sehingga dindingnya menjadi tebal dan menimbulkan kavitas sklerotik.. Respon yang muncul pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair akan lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas pada area percabangan trakeobronkial, peradangan serta jaringan parut fibrotik pada area tersebut. (Pryce, S. A, 2005).



F. Web Of Causa
TERLAMPIR

G. Manifestasi Klinis
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimptomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi dua golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik (Crofton J., Horne, N. & Millier, F., 2002).
1. Gejala respiratorik, meliputi:
a . Batuk
 Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula- mula bersifat non produktif kemudian berdahak akibat timbulnya peradangan sehingga disebut batuk produktif bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan ataupun karena terdapat pembuluh darah yang pecah.. 
b. Batuk darah 
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya bentuk perdarahan tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.


c. Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan di pleuran terkena dan menimbulkan pleuritis. 
2. Gejala sistemik, meliputi
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai, biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendk
b. Gejala sistemik lain
Gejala ini berupa keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya gejalanya biasanya dalam beberapa minggu sampai bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak nafas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumoni.





H. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thorax PA dengan atau tanpa lateral merupakan pemeriksaan radiologi standar. 
Karakteristik radiologi yang menunjang diagnostik antara lain :
a. Bayangan lesi radiologi yang terletak di lapangan atas paru.
b. Bayangan yang berawan (patchy) atau berbercak (noduler)
c. Kelainan yang bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru
d. Adanya kalsifikasi
e. Bayangan bilier.
2. Pemeriksaan bakteriologik (Sputum) ditemukannya kuman mycobacterium TBC dari dahak penderita memastikan diagnosis tuberculosis paru.
Pemeriksaan biasanya lebih sensitif daripada sediaan apus (mikroskopis). Pengambilan dahak yang benar sangat penting untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pada pemeriksaan pertama. sebaiknya 3 kali pemeriksaan dahak. Uji resistensi harus dilakukan apabila ada dugaan resistensi terhadap pengobatan. Pemeriksaan sputum adalah diagnostik yang terpenting dalam prograrn pemberantasan TBC paru di Indonesia.
3. Spirometri
 Untuk mengukur secara objektif beberapa hal yaitu: obstruktif jalan nafas. Beratnya derajat obstruktif menilai perubahan perubahan perbaikan obstruksi setelah pengobatan
4. Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi umumnya akan menunjukkan adanya:
- Anemia terutama bila penyakit berjalan menahun
- Leukositosis ringan
- LED meningkat terutama pada fase akut dan umumnya nilai tersebut kembali normal pada tahap penyembuhan
- Fungsi hati, fungsi ginjal, gula darah untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.
5. Tes Tuberkulin
Dasar tes tuberkulin adalah reaksi alergi tipe lambat pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen maupun tidak. Tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya immunologi selluler pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam peranannya akan menekan antibodi selluler. Semakin besar pengaruh antibodi humoral maka semakin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Teknik dasar adalah dengan menyuntikkan tuberkulin sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 unit tuberkulin secara intrakutan, pada sepertiga atas permukaan lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48-72 jam sesudah penyuntikan. Interpretasi di bawah ini menunjukkan berbagai tipe reaksi:
- Indurasi 0-5 mm: mantoux tes negatif (-)
- Indurasi 6-9 mm: mantoux tes meragukan 
- Indurasi 10-15 mm: mantoux tes positif (+).

I. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan. Apabila pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif (Idris, F, 2004). 
Pengobatan TBC menurut standar WHO dan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan panduan OAT standar dalam tiga kategori, yaitu:
A. Obat kategori 1 yang diperuntukkan bagi penderita baru TB paru dengan BTA positif, penderita TB paru dengan BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan penderita TB ekstra paru berat.
1. Jangka Pendek (fase intensif) 
Isoniazid (H) + Rifampicin (R) + Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama 2 bulan. 
2. Jangka Panjang (fase lanjutan)
Isoniazid (H) + Rifampicin (R) selama 4 bulan dan diberikan tiga kali dalam seminggu.
B. Obat kategori 2 yang diperuntukkan bagi penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan gagal pangobatan setelah lalai diberikan:


1. Jangka Pendek (fase intensif) 
Isoniazid (H) + Rifampicin (R) + Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) serta suntikan Streptomycin yang diberikan setiap hari setelah minum obat di unit pelayanan kesehatan selama 2 bulan. Tahap ini dilanjutkan dengan minum OAT diatas saja tanpa suntikan selama 1 bulan.
2. Jangka Panjang (fase lanjutan).
Isoniazid (H) + Rifampicin (R) dan Etambutol (E) selama 5 bulan dan diberikan tiga kali dalam seminggu.
C. Obat kategori 3 diberikan untuk penderita BTA negatif dan rotgen positif, TB kelenjar limfe (limfadenitis), TB kulit dan TB tulang (selain tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
1. Jangka Pendek (fase intensif) .
Isoniazid (H) + Rifampicin (R) + Pirazinamid (Z) diberikan setiap hari selama 2 bulan. 
2. Jangka Panjang (fase lanjutan)
Isoniazid (H) + Rifampicin (R) selama 4 bulan dan diberikan tiga kali dalam seminggu.
D. Pengobatan TB pada anak
Prinsip dasar penobatan TB pada anak tidak berbeda dengan orang dewasa, tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
- Pemberian obat pada tahap intensif maupun lanjut diberikan setiap hari.
- Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Susunan panduan obat TB pada anak adalah:
1. Jangka Pendek (fase intensif) .
Isoniazid (H) + Rifampicin (R) + Pirazinamid (Z) diberikan setiap hari selama 2 bulan. 
2. Jangka Panjang (fase lanjutan)
Isoniazid (H) + Rifampicin (R) selama 4 bulan dan diberikan setiap hari.

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB. 
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut. 
3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari. 
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup. 
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku



J. Pencegahan
Pencegahan terhadap infeksi Tb meliputi:
1. Terhadap infeksi tuberculosis
a. Case finding
- Foto thoraks yang dikerjakan secara massal.
- Uji tuberculin secara mantoux test.
b. Isolasi penderita dan mengobatinya
c. Ventilasi rumah yang baik.
2. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan memperbaiki standar hidup, antara lain:
a. Makan makanan yang bergizi
b. Lengkapi perumahan demgan ventilasi yang cukup
c. Usahakan tidur cukup dan teratur
d. Lakukan olah raga di tempat yang memiliki udara segar
e. Vaksinasi BCG.























BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

 A. PENGKAJIAN DATA DASAR
  Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan tuberkulosis paru menurut Doengoes (2000) ialah sebagai berikut :
  a. Pola aktivitas dan istirahat
  Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul sesak (nafas pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari
  Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (pada tahap lanjut, infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang timbul.
 b. Pola nutrisi
  Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan
  Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.
c. Respirasi
  Subjektif : Batuk produktif/non produktif, sesak napas, sakit dada, riwayat terpajan individu terinfeksi.
  Objektif : Peningkatan frekuensi pernafasan, mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu , sesak napas, pengembangan dada tidak simetris (menunjukkan efusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (terhambat cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
d. Rasa nyaman/nyeri
  Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
  Obyektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
e. Integritas ego
  Subjektif : Faktor stres yang lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
  Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung.
g. Interaksi sosial
  Subyektif : Perasaan isolasi, penolakan karena penyakit menular, Perubahan pola tanggung jawab, perubahan kapasitas fisik untuk melaksanankan fungsi peran.
h. Belajar/mengajar
 Subyektif : Riwayat keluarga TB, status kesehatan buruk, gagal untuk
  memperbaiki kekambuhan TB, tidak berpartisipasi dalam terapi.

B. PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Meningkatkan dan mempertahankan kenyamanan dan ventilasi/oksigen yang adekuat.
2. Mencegah penyebaran infeksi.
3. Mendukung perilaku sebagai tugas untuk mempertahankan kesehatan.
4. Meningkatkan strategi koping yang efektif.
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit dan prognosis serta kebutuhan pengobatan.






C. DIAGNOSA KEPERAWATAN 
  Diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada klien dengan tuberkulosis paru menurut Carpenito( 2006) dan Doengoes( 2000) adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan: kelemahan, upaya batuk yang buruk, edema trakeal/faringeal, sekresi yang kental atau berlebihan sekunder terhadap infeksi, fibrosis kistik, stasis sekresi ditandai dengan: bunyi nafas tidak normal (ronkhi, mengi), stridor, dispneu, kedalaman nafas abnormal.
a. Tujuan: mempertahankan jalan nafas pasien.
b. Kriteria hasil :
1) Pasien mampu mengeluarkan sekret tanpa bantuan
2) Pasien memperlihatkan perilaku/upaya mempertahankan bersihan jalan nafas
3) Pasien berpartisipasi dalam program pegobatan
c. Intervensi :
1) Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan
penggunaanototaksesoris.
Rasional : Penurunan bunyi napas merupakan indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi sekret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat
  karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
  Rasional: Pengeluaran akan sulit apabila sekret tebal, sputum berdarah
  akibat kerusakan paru atau luka bronkhial yang memerlukan
  evaluasi/intervensi lanjut.
3) Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan
  latihan napas dalam.
  Rasional: Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka
  area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
 Rasional: Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien
 tidak mampu mengeluarkan sekret.
5) Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
  Rasional: Membantu mengencerkan sekret sehingga mudah dikeluarkan
6) Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.
Rasional: Menurunkan kekentalan sekret, vasodilatasi lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.
7) Bantu inkubasi darurat bila perlu
Rasional: Diperlukan pada kasus bronkogenik. dengan edema laring atau perdarahan paru akut.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan: berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, edema bronchial berhubungan dengan dispneu saat aktivitas, bernafas dengan bibir, konfusi dan keletihan.
a. Tujuan : Hilang atau menurunnya dispneu.
b. Kriteria hasil :
1) Tidak terjadi dispnea. 
2) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat 
3) GDA dalam rentang normal. 
4) Bebas dari gejala distres pernapasan.
c. Intervensi
1) Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal, peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
Rasional: Tuberkulosis paru dapat menyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-paru yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
2) Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
Rasional: Akumulasi sekret dapat mengganggu oksigenasi di organ vital dan jaringan.
3) Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
Rasional: Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.
4) Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
Rasional: Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
5) Monitor GDA
Rasional: Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih adekuat atau perubahan terapi.

  6) Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional: Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder terhadap hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya kapasitas total paru, proses inflamasi, obstruksi trakeobronkial oleh bekuan darah dan sekret ditandai dengan ortopneu, takipneu, hiperventilasi, pernafasan disritmik, gangguan ekspansi dada, bunyi nafas abnormal (krekels, mengi)
a. Tujuan: pasien dapat mencapai ekspansi optimal melalui ventilasi yang adekuat.
b. Kriteria hasil:
1) Menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal.
2) Bunyi nafas paru bersih
3) Berpartisipasi dalam meningkatkan fungsi paru.
c. Intervensi:
1) Periksa kualitas dan kedalaman pernafasan dan catat bila ada perubahan.
Rasional : Penurunan bunyi nafas dapat menunjukkan atelektasis, ronkhi dan mengi menunjukkan akumulasi sekret sehingga ketidakmampuan membersihkan jalan nafas akan menimbulkan penggunaan otot bantu pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektif, kemudoian catat karakter, jumlah sputum dan adanya hemoptisis
Rasional : Sputum yang berdarah dan kental berasal dari kerusakan (kavitasi) paru atau lukaa bronkial dan dapat memerlukan evaluasi dan intervensi lanjut.
3) Berikan posisi demi fowler tinggi, bantu pasien untuk batauk dan latihan nafas dalam.
Rasional : posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret dari dalam jalan nafas untuk dikelaurkan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakhea
Rasional: mencegah obstruksi/aspirasi. Penghisapan dapat dilakukan apabil;a pasien tidak mampu menegluarkan sekret sendiri.
5) Kolaborasi dalam pemberian oksigen, humidifikasi tambahan seperti nebuliser serta lakukan fisioterapi dada
Rasional : pemberian oksigen untuk mengurangi kerja paru dan meningkatkan pernafasan. Obat-obatan diberikan bersifat menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru.
4. Gangguan rasa nyaman : nyeri dada berhubungan dengan proses peradangan (infeksi paru) ditandai dengan keluhan nyeri dada, gelisah, perilaku distraksi dan hati-hati.
a. Tujuan : rasa nyaman teratasi dan nyeri hilang/berkurang
b. Kriteria hasil:
1) Klien tidak mengeluh nyeri.
2) Wajah tampak rileks dan tidak tegang.
3) Emosi stabil.


c. Intervensi
1) Kaji skala nyeri
Rasional: Untuk mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan dan sebagai panduan menetukan intervensi
2) Bantu pasien untuk menentukan posisi yang nyaman
Rasional: Untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan kenyamanan pasien
3) Jelaskan pada pasien apabila batuk jangan dipaksakan tetapi berikan minum air hangat.
Rasional: untuk mencegah hemaptoe dan air hangat dapat mengencerkan sekret.
4) Kolaborasi untuk pemberin obat analgetik dan anti tuberkulosis
Rasional: Untuk mengurangi nyeri 

5. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan: menurunnya daya tahan tubuh, menurunnya fungsi silia, sekret yang inenetap, kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar, malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, proses penyakit kronis, kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
a. Tujuan: resiko terjadinya infeksi dan resiko menularkan pada orang lain hilang atau berkurang.
b. Kriteria hasil :
1) Infeksi silang tidak terjadi dan tidak ditemui tanda-tanda infeksi
2) Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi. 
3) Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang. aman.
c. Intervensi:
1) Review patologi penyakit pada fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman ataumenyanyi.
Rasional: Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
2) Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
Rasional: Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran infeksi.
3) Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk.
Rasional: Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
4) Gunakan masker setiap melakukan aktivitas tindakan
Rasional: Mengurangi risilio penyebaran infeksi.
  5) Monitor temperatur  
Rasional: Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
6) Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetesmelitus,kanker.
Rasional: Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk.
7) Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional: Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan terapi .Jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
8) Kolaborasi dalam Pemberian terapi INH, Etambutol, Rifampisin.
Rasional: INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan pertama.
9) Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), Sikloserin, Streptomisin.
Rasional: Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
10) Monitor sputum BTA
Rasional: Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi.
6. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan: kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksiaditandai dengan penurunasn berat badan, LILA mengecil, kelemahan.
a. Tujuan: status nutrisi optimal dapat dipertahankan
b. Kriteria hasil:
1) Menunjukkan peningkatan berat dan bebas tanda malnutrisi. 
2) Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
c. Intervensi
1) Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/muntahataudiare.
Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.
2) Kaji pola diet pasien yang disukai dan yang tidak.
Rasional: Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.
  3) Monitor intake dan output secara periodik
Rasional: Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
4) Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
Rasional: Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
5) Anjurkan bedrest
Rasional: Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
6) Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
Rasional: Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.
7) Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
  karbohidrat.
Rasional: Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
8) Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
Rasional: Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik dan diet.
9) Konsul dengan tim medis untuk jadual pengobatan 1-2 jam sebelum/setelahmakan.
Rasional: Membantu menurunkan insiden mual dan muntah karena efek samping obat.
10) Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
Rasional: Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan dan pencegahan penyakit berhubungan dengan: interpretasi informasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, keterbatasan kognitif ditandai dengan permintaan informasi, menunjukkan kesalahan konsep tentang status kesehatannya, kurang tepat dalam mengikuti instruksi, memperlihatkan perubahan psikologis cemas akibat kesalahan informasi yang diterima.
a. Tujuan : Klien/keluarga menyatakan pemahaman proses penyakit dan kebutuhan pengobatan
b. Kriteria hasil :
1) Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup untuk memperbaiki kesehatan dan menurunkan resiko pengaktifan ulang penyakit TBC 
2) Mampu Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi pengobatan. 
3) Menerima perawatan kesehatan yang adekuat.
c. Intervensi
  1) Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media,orangdipercaya.
Rasional: Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.
2) Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran,vertigo.
Rasional: Indikasi perkembangan penyakit atau efek samping obat yang membutuhkan evaluasi secepatnya.
3) Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang adekuat.
Rasional: Mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan membantu mengencerkan dahak.
4) Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minumobat.
Rasional: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
5) Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat tuberkulosisdenganobatlain.
Rasional: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.
6) Jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah
Rasional: Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
7) Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
Rasional: Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
8) Rujuk pemeriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
Rasional: Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.
9) Dorong pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan dan perawat jangan menyangkal.
Rasional: Menurunkan kecemasan. Penyangkalan dapat memperburuk mekanisme koping.
10) Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan.
Rasional: Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi paru/bronkus.
11) Anjurkan untuk berhenti merokok
Rasional: Merokok tidak menstimulasi kambuhnya tuberculosis, tapi gangguan pernapasan/ bronchitis.
12) Review tentang cara penularan tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
Rasional: Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh kembali. Komplikasi tuberkulosis: formasi abses, empisema, pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi gastro instestinal, fistula bronkopleural, tuberkulosis laring, dan penularan kuman.
8. Resiko ketidakefektifan pelaksanaan program terapi dengan teratur berhubungan dengan ketidaktahuan tentang teknik dan pengobatan, biaya finansial dari program terapi, efek samping terapi, kompleksitas program terapi, kurangnya motivasi ditandai dengan mengungkapkan kesulitan/bosan mengikuti aturan pengobatan, efek obat dan aturan pencegahan komplikasi, ketidakpatuhan menjalani program pencegahan penyakit.
a. Tujuan : Klien dapat menjalankan program terapi sesuai dengan yang telah diprogramkan.
b. Intervensi:
  1) Nilai pendapat atau persepsi klien tentang kesehatan termasuk faktor agama dan budaya
 Rasional : Untuk menentukan intervensi.
  2) Kaji tanda-tanda tidak dilaksanakannya program terapi dan diet seperti penurunan berat badan, kecanduan alakohol atau obata.
  Rasional: untuk mengetahui hambatan ketidakefektifannya program terapi agar dapat menentukan terapi selanjutnya
  3) Atur kunjungan perawat atau rujuk ke keshatan pekerja sosial
Rasional : Untuk membantu pelaksanaa program terapi
 4) Jelaskan kembali kepada klien akan pentingnya menjalankan program terapi dan diet sesuai dengan yang telah ditentukan
Rasioanal : Untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi resiko kekambuhan
 5) Meningkatkan kontak antara klien dan perawat terutama jika klien masih membutuhkan bantuan perawat.
Rasional : Untuk mengetahui dan mengambil tindakan seperlunya agar penderita terjamin pengobatannya.
 



























DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y. (2005). Tuberkulosis dan penanggulangannya. Majalah kedokteran Indonesia vol 55 no.2. Jakarta.

Aditama, t. Y. (2006). Tuberculosis, rokok dan perempuan. Jakarta. FKUI.

Amin, Z dan bahar, A. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II edisi 4. Jakarta.

Carpenito, L. J dan Moyet. (2006). Buku saku diagnosis keperawatan. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth. (2001). Patofisiologi. Dialihbahasakan oleh Brahim V. Pendit. Jakarta: EGC.

Crofton, J., Horne, N dan Millier, F. (2002). Tuberculosis klinis. Jakarta: Widya Medika.

Depkes RI. (2002). Pedoman Nasional Penaggulangan Tuberculosis. Jakarta. 

Doenges, M. E, Moorhouse, M. F dan Geissler, A. C. (2002). Rencana asuhan keperawatan; pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Idris, F. (2004). Penanggulangan tuberculosis strategi DOTS: Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.

Long, Barbara C. (1996). Keperawatan medikal bedah. Jakarta. EGC.

Price, S. A. (1997). Tuberculosis paru dalam patofisiologi konsep klinis proses penyakit. Jakarta: EGC.

Smeltzer & Brenda. (2001). Keperawatan medikal bedah ; Brunner and Suddarth. Jakarta: EGC.

Stein, Jay H. (2001). Ilmu penyakit dalam. Edisi 3. Dialihbahasakan oleh E. Nugroho. Jakarta: EGC.





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis paru masih merupakan masalah di dunia baik dari segi angka morbiditi dan mortaliti. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi TB setiap detik, setiap lima detik satu orang jatuh sakit TB di dunia dan tiap 20 detik satu orang meninggal akibat TB (Aditama, T. Y., 2005)
Di dunia tercatat ada 22 negara dengan jumlah kasus tuberkulosis (TB) terbanyak di dunia, dan ke 22 negara ini disebut sebagai “high burden countries”. Lebih 75 % kasus TB didunia ada di 22 negara ini, maka program penaggulangan TB yang dilakukan di negara-negara ini akan memiliki dampak besar dalam penaggulangan TB di dunia. Program penaggulangan TB yang kini dianut luas ikenal dengan nama startegi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course). (Aditama, T. Y., 2006).
Indonesia bukan hanya “high burden countries” tapi juga tercatat sebagai negara penyumbang pasien TB menular ke 3 terbesar dunia, setelah India dan China. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahunya 150 ribu orang meninggal akibat TB. Artinya setiap hari ada 300 orang meninggal akibat TB di negara kita. Diperkirakan jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah penderita TB di dunia. TB merupakan penyakit nomor tiga penyebab kematian setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan.

B. Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami definisi, etiologi, patofisiologi, penatalaksanaan media dan pencegahan TB paru.
2. Memahami konsep asuhan keperawatan yang meliputi diagnosa, intervensi beserta rasional tindakan pada pasien dengan TB paru
3. Memenuhi tugas mata kuliah KMB 1.

C. Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang tinjauan teoritis dan Asuhan keperawatan pada pasien dengan TB paru.

D. Metode penulisan
  Penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka yang mengacu kepada beberapa literatur.

Tidak ada komentar: