LAPORAN PENDAHULUAN
BAYI SYNDROME DOWN DENGAN POST OPERASI KOLOSTOMI
DI RUANG PERINATOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
ERNI NOVRIANI, S.Kep
NIM: 0811465770
Pembimbing Akademik: Yulia Irvani Dewi, SKp. M.Kep. Sp.MAT
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2008
SYNDROME DOWN
DEFINISI
Syndrome down adalah kelainan kogenital yang disebabkan oleh kerusakan kromosomal yang ditandai dengan retardasi mental dan bentuk fisik yang unik yang disebut Mongoloid Idiots (Burns, 2000).
TANDA DAN GEJALA
- Wajah khas mongoloid
- Kepala agak kecil
- Daerah oksipital mendatar
- Muka lebar
- Hidung pesek
- Tulang pipi meninggi
- Kemampuan berfikir idiot
- Mata letak berjauhan, sipit miring ke atas dan samping seperti mongol.
- Iris terdapat bercak-bercak
- Kulit halus dan longgar
- Terdapat lipatan-lipatan di leher
- Jari tangan kelingking pendek dan bengkok ke dalam
- Alat kelamin kecil
- Otot hipotonik
ETIOLOGI
Kelainan letak romosom 21 dan 15 dengan kemungkinan:
- Non Disjunction Sewaktu Osteogenesi (Trisomi)
Kromosom disorder yang ditandai dengan adanya ekstra kromosom ke 21 menjadi trisomi 21.
- Translokasi Kromosom 21 Dan 15
- Post Zygitic Disjunction
Insidennya 1:1000 kelahiran. Meningkat pada ibu yang melahirkan anak diatas usia 35 tahun dan penyebabnya belum bisa dipastikan.
o usia > 30 insiden 1:1500
o usia > 40 insiden 1:100
(Bachman,1998)
PATOFISIOLOGI
Setiap sel tubuh mengandung ekstra kromosom sehingga menimbulkan perubahan yang disebut syndrome. Perubahan yang dapat timbul berupa perubahan otot dan jaringan penyambung. Defek pada katup atau ruang jantung sehingga 30-40% dari down syndrome mempunyai kongenital heart disease (Burns, 2000).
MANIFESTASI KLINIS
- Lipatan pada epicantus
- Lidah lebar besar mulut kecil (mandibula hipoplastik)
- Leher pendek tebal
- Lengkungan palatum tinggi
- Otot yang mudah lelah dan hipotonus (abdomen buncit dan hernia umbilikal)
- Fisura palpebra serong (mata miring ke atas dan keluar)
- Hidung kecil dengan batang hidung tertekan ke bawah (hidung sadel)
- Jari kaki jempol dan yang lainnya berjarak lebar
- Jarak gigi yang abnormal
PENYAKIT PENYERTA
- Penyakit kelainan jantung kongenital
- Infeksi saluran pernapasan dan otitis media kronik karena hipotonus dari otot abdomen dan dada, gangguan sistem imun dan perbedaan anatomi dari telinga yaitu saluran tuba eustachius yang sempit dan pendek.
- Hirsprung
- Atresia ani
- Tacheoesophagus fisula
- Hipotiroidisme
- Katarak
- Atlantoaxial yaitu gangguan spinal yang menyebabkan ketidakstabilan tulang servical atas
- Leukemia
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKSUAL
1. Perkembangan seksual terlambat
2. Infertil pada pria
3. Fertil pada wanita
ATRESIA ANI (ANUS IMPERFORATA)
A. Definisi
Atresia Ani berasal dari dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, atresia artinya nutrisi atau makanan. Atresia ani yaitu yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu Anus imperforata. Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar (Walley,1996).
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi,2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforate dibagi 4 golongan, yaitu :
1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus yang menutup
3. Anus imperforate dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum
B. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu ke empat sampai keenam usia kehamilan.
C. Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi.
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan. Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.
Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.
D. Tanda dan gejala
- Mekonium tidak keluar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
- Tinja keluar dari vagina atau uretra
- Perut menggembung
- Muntah
- Tidak bisa buang air besar
- Tidak adanya anus, dengan ada/tidak adanya fistula
- Pada atresia ani letak rendah mengakibatkan distensi perut, muntah, gangguan cairan elektrolit dan asam basa.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.
F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis:
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
G. Penatalaksanaan Medis
Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital dan Colostomi sementara.
H. Komplikasi
Semua pasien yang mempunyai malformasi anorektal dengan kortmobiditas yang tidak jelas mengancam hidup akan bertahan. Pada lesi letak tinggi, banyak anak mempunyai masalah pengontrolan fungsi usus dan juga paling banyak menjadi konstipasi. Pada lesi letak rendah anak pada umumnya mempunyai control usus yang baik, tetpai masih dapat menjadi konstipasi. Komplikasi operasi yang buruk berkesempatan menjadi kontinensia primer, walaupun akibat ini sulut diukur. Reoperasi penting untuk mengurangi terjadionya kontinensia.
I. Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penanganan secara preventif antara lain:
1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
J. Rehabilitasi dan Pengobatan
1. Melakukan pemeriksaan colok dubur
2. Melakukan pemeriksaan radiologik pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik sellama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lakukan anus.
3. Melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
4. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau speculum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan yang
5. Dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
6. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
7. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus
8. Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun) operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-12 bulan) pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)
9. Penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through" manfaat kolostomi adalah antara lain:
A. Mengatasi obstruksi usus
B. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih
C. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.
K. Asuhan Keperawatan
Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah pasien dengan tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi :
1. Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.
2. Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak dari anestesi.
3. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi (Whaley & Wong,1996).
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
5. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
6. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi.
7. Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi (Doenges,1993).
8. Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran (Doenges,1993).
9. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,1993).
10. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah (Doenges,1993).
11. Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).
L. Diagnosa Keperawatan
Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan diagnosa keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang spesifik. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani yaitu:
a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1993).
b. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
c. Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi (Suriadi,2001).
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan penumpuksan seckret berlebih (Doenges,1993).
M. RENCANA TINDAKAN ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status puasa sebelum dan atau sesudah pembedahan, kehilangan nafsu makan, muntah
Tujuan : Pasien mendapat hidrasi yang adekuat
Kriteria : Anak tidak menunjukkan dehidrasi
Intervensi :
1. Pantau infuse pada kecepatan yang ditentukan untuk memastikan hidrasi yang adekuat.
2. Berikan cairan segera setelah diinstruksikan atau ditoleransi anak
3. Berikan bayi minum per oral dan bantu dengan terapi IVFD adekuat.
4. Hitung banace cairan
5. Hitung beratbadan bayi tiap hari
6. Awasi pengeluaran yang berlebihan tidak sesuai dengan masukan.
Diagnosa : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan: tidak terjadi gangguan integritas kulit.
Kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi :
1. Kaji area stoma.
2. Gunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.
3. Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma.
4. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar 1/8 dari ukuran stoma.
5. Kaji kulit sekitar sayatan insisi adanya memerah atau melepuh dan lecet.
Diagnosa : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal.
Intervensi :
1. Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau perawatan.
2. Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.
3. Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih.
4. Pantau dan batasi pengunjung, beri isolasi jika memungkinkan.
5. Beri antibiotik sesuai advis dokter.
Diagnosa : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status puasa sebelum dan atau sesudah pembedahan, kehilangan nafsu makan, muntah
Tujuan : Pasien mendapat hidrasi yang adekuat
Kriteria : Anak tidak menunjukkan dehidrasi
Intervensi :
7. Pantau infuse iv pada kecepatan yang ditentukan untuk memastikan hidrasi yang adekuat.
8. Berikan cairan segera setelah diinstruksikan atau ditoleransi anak
9. Berikan bayi minum per oral dan bantu dengan terapi IVFD adekuat.
10. Hitung banace cairan
11. Hitung beratbadan bayi tiap hari
12. Awasi pengeluaran yang berlebihan tidak sesuai dengan masukan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (2001). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Hidayat (2006). Pengantar ilmu keperawatn anak. Jakarta: Salemba medika.
Mansjoer, A. (1999). Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.
Rothrock, J.C. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC.
Sacharian, R. M. (1993). Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D. (2003). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Kamis, 04 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar